Hari ini, Kamis, 29 Maret 2012 besok adalah hari penentuan BBM bakal naik ataupun tidak tergantung pada hasil sidang paripurna. Dalam tulisan ini saya mencoba mengeluarkan uneg-uneg saya mengenai kebijakan BBM yang sungguh menyita waktu di akhir bulan Maret ini. Tulisan ini dimulai dari paparan masalah dan sebuah solusi pribadi yang belum tentu juga solusi terbaik, tapi setidaknya daripada hanya protes tapi tidak tahu harus bagaimana.
Alasan Pemerintah Menaikkan BBM
Pada APBN 2012, defisit anggaran kita mencapai Rp124 trilyun. Berdasarkan keterangan pemerintah, jika kebijakan kenaikan harga BBM tidak dieksekusi, defisit APBN dapat bertambah Rp175,9 triliun dan menjadi 3,6 persen dari PDB. Sedang batas defisit menurut undang-undang adalah 2,5% jadi mau tidak mau harus ada realokasi anggaran (APBN-P) dan pos yang diincar untuk menutup defisit ini adalah pos subsidi BBM. Adapun alasannya kenapa pos subsidi ini menjadi prioritas dijelaskan lebih rinci di bawah.
- Pengguna BBM Mayoritas kalangan menengah ke-atas
Data ini berasal dari pemerintah, tepatnya dari kementrian ESDM. Untuk perhitungan detailnya saya tidak tahu namun kesimpulannya disajikan dalam gambar di bawah ini yang saya sadur dari blog Mas Narsip, senior saya di SMA 1 Tuban. Dari gambar tersebut jelas pengguna terbanyak adalah mobil pribadi disusul motor, pertanyaannya apakah semua orang yang mempunyai mobil pribadi merupakan golongan menengah ke atas? Apa klasifikasinya?. Oke, anggaplah semua pemilik mobil pribadi golongan menengah jadi alasan pemerintah ini dapat diterima soalnya saya aja di rumah baru ada motor, beli mobil aja belum kepikiran.
Gambar diambil dari (http://www.sunarsip.com/index.php?option=com_content&view=article&id=151%3Akontroversi-harga-bbm&catid=39%3Afiskal-dan-apbn&Itemid=131)
- Subsidi BBM lebih baik dimasukkan ke pos anggaran lain seperti pendidikan, kesehatam, dll
Jika dibandingin dengan anggaran subsidi memang anggaran untuk pos kesehatan, pendidikan masih lebih kecil. Pada APBN 2012, anggaran “subsidi” BBM sebesar Rp123,6 trilyun. Sebagai perbandingan, anggaran kemiskinan, kesehatan, dan pertanian masing-masing hanya Rp99, 2 trilyun, Rp48 trilyun, dan Rp53,9 trilyun. Alasan ini dapat diterima namun dengan syarat yaitu apabila BBM dinaikkan harus tetap dipantau perkembangan nilai pos anggaran ini jangan sampai subsidi BBM ini malah banyak masuk ke pos yang menurut saya prioritasnya dibawah pos diatas seperti belanja pegawai, belanja barang dan sebagainya.
Alasan BBM Tidak Pantas Naik
Salah satu tokoh yang menjadi rujukan pemikiran saya adalah Bp Kwik Kian Gie, beliau memaparkan alasan kenapa BBM tidak pantas naik, selain itu beberapa pemikiran dari saya pribadi juga.
- Pengertian keliru tentang subsidi
Menurut Bp Kwik Kian Gie memang terjadi kekeliuran dalam pemahaman subsidi. Secara awam subsidi dipahami jika harga minyak mentah sekarang $ 105 – 110 / barrel setara dengan Rp 6.500 premium dan harga premium di SPBU seharga Rp 4.500 maka dipahami bahwa minyak disubsidi sebesar Rp 2.500 Kalau menurut beliau perhitungan subsidi tidak sesederhana itu karena perhitungan seperti itu seakan mem-brain wash bahwa jika harga premium tidak sesuai dengan harga pasar internasional kita mengalami kerugian. Menurut dia lagi sebenarnya dari Minyak pemerintah malah mendapatkan surplus dari hasil perhitungan di APBN. Berikut gambaran singkat perhitungan beliau :
Gambar diambil dari (http://kwikkiangie.com/v1/2012/03/kontroversi-kenaikan-harga-bbm/)
Dari ulasan gambar diatas bahwa sebenarnya pemerintah masih mempunyai surplus dari proses jual beli migas ini. Namun yang perlu digaris bawahi surplus ini juga tidak hilang sebagaimana di sangsikan oleh orang banyak. Namun masuk ke pos pendapatan Migas adapun pengeluarannya tentu menyebar di berbagai pos pengeluaran di APBN. Jadi ketika ada yang bilang bahwa kita merugi dengan produksi migas kita itu salah besar karena buktinya kita masih punya surplus walaupun sudah dikurangi subsidi energi/bbm.
Kesalahan umum interpretasi yang dilakukan masyarakat dalam memahami pandangan Bp KKG ini adalah mendirikan masalah Migas menjadi satu entitas tersendiri. Padahal itu tidak bisa karena tentu saja berpengaruh pada APBN keseluruhan. Namun tetap bahwa Industri migas kita ini masih menguntungkan seandainya pun subsidi energi diambilkan dari keuntungan migas pemerintah masih surplus Rp 92T
- Dampak Langsung ke Masyarakat
Ini yang memancing demonstrasi besar-besaran kalangan buruh dan mahasiswa. Logikanya sederhana jika BBM naik maka secara otomatis kebutuhan bahan sehari-hari juga naik dan apakah upah/gaji mereka ikut naik? Mungkin bagi golongan pedagang/pengusaha kenaikan BBM bisa mereka sesuaikan dengan kenaikan barang dagangan mereka namun bagaimana dengan buruh, mereka yang upah/gajinya tetap per bulan, tentu suatu pukulan berat bagi perekonomian mereka dan ini akan berimbas menurunnya daya beli yang pada akhirnya mungkin kalangan pengusaha juga akan terkena dampaknya walaupun tidak secara langsung seperti yang dialami para buruh. Jadi wajar jika yang banyak berdemo menentang kenaikan BBM ini adalah buruh dengan upah rata-rata UMR/UMK.
Dan ada satu hal yang menarik, banyak melalui socmed-socmed atau komen-komen yang menolak dan tidak suka demonstrasi, saya kira mereka ini sudah merupakan golongan menengah ke atas. Seperti kita tahu pertumbuhan kelas mengah ini lumayan tinggi di Indonesia. Jadi wajar bagi mereka jika BBM naik Rp 6.000 mungkin masih tertutup sama pendapatan mereka. Dan saya yakin suara rakyat kecil yang tidak pernah facebookan, twiteeran ataupun baca media online sebenarnya tidak menginginkan kenaikan BBM karena untuk sekarang saja sudah susah apalagi kalau BBM naik?
Sebagaimana kita tahu sekarang perusahaan asing seperti Shell, Petronas dan Total sudah mulai masuk ke industri hilir melalui SPBU-SPBU mereka. Sebagai perusahaan tentu jelas tujuannya yaitu mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Nah keberadaan SPBU Pertamina dengan harga yang jauh lebih murah tentu harus segera dilenyapkan (pemikiran kapitalis) dan sayangnya pemerintah sudah terjebak dalam konspirasi global kapitalisme ini.
Jeratan-jeratan kapitalis telah melahirkan Undang-undang yang merugikan rakyat Indonesia seperti : UU nomor 22 tahun 2001 tentang Migas ““Harga bahan bakar minyak dan gas bumi diserahkan pada persaingan usaha yang sehat dan wajar ” yang sudah dibatalkan oleh MK namun muncul PP sebagai intrik penyelesaian Peraturan Pemerintah nomor 36 Tahun 2004. Pasal 72 ayat (1) berbunyi : “Harga bahan bakar minyak dan gas bumi, kecuali gas bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil, diserahkan pada persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan.”. Lha minyak punya-punya kita kenapa dijual ke bangsa sendiri dengan harga internasional. Bolehlah kalau dijual ke luar (ekspor) pakai harga internasional. tapi kalau dikonsumsi sendiri?
Menurut hitungan Pak Kwik Kian Gie bahwa biaya produksi minyak kita itu Rp 596/liter artinya dengan harga jual premium yang sekarang saja Rp 4.500 pemerintah sudah untung Rp 3.904 terhadap rakyat. Masak pemikirannya sama dengan perusahaan (Shell, Total, dll). Mereka memang pantas mencari keuntungan karena perusahaan, jika begini mengapa Indonesia tidak berubah jadi perusahaan saja dibandingkan menjadi sebuah negara?
Solusi
1. BBM Tidak Perlu dinaikkan dan yang dilakukan adalah :
Jika masalah utamanya adalah defisit anggaran maka penyelesainnya ada dua macam yaitu : mengurangi pos pengeluaran atau menambah pos pendapatan (logika ekonomi sederhana). Yang jadi masalah kan defisit anggaran ini menjadikan pos pengeluaran subsidi energi/bbm yang prioritas akan dikurangi walaupun mungkin ada juga pos-pos lain yang dilakukan pengurangan walaupun tak sesignifikan pos subsidi BBM ini.
Kurangi Pos Pengeluaran Belanja Pegawai dan Belanja Barang
Kalau melihat dari kacamata orang awam seperti saya sebenarnya ada beberapa pos belanja pegawai dan barang yang bisa dihemat semisal pembelian pesawat kleprisidenan, pembangunan gedung DPR/MPR, dan sebagainya itu. Itu aja yang sekilas saya lihat beritanya di TV dan saya yakin jika mau menelaah lebih jauh pos-pos semacam ini banyak di belanja pegawai,belanja barang, dll
Tambah Pos Pendapatan dari Sektor Migas dan Pertambangan
Kedua yaitu meningkatkan pos pendapatan, kembali dari kacamata saya yang awam. Dengan harga minyak yang kian naik harusnya membuat kita senang lantaran kita masih punya cadangan di cepu, natuna, dll. Di cepu misalnya, saya melihat dengan kepala mata sendiri bahwa rakyat masih bisa mengambil minyak secara langsung (pertambangan rakyat) tentu cadangan disini cukup besar belum lagi di daerah lain. Kuncinya adalah di maslah ilmu dan technology. Tentu beberapa mungkin ada yang mengenal EOR (Enhanced Oil Recovery) dan bermacam technology lifting minyak, namun mengapa produksi minyak kita terus menurun? Masalahnya bukan pada cadangan minyaknya tapi seberapa pintar kita merekayasa teknologi untuk kepentingan produksi minyak ini. Teringat kata Prof Joko Santoso, Mantan rektor ITB yang pernah ngajar saya, bahwa “Minyak itu letaknya bukan di Bumi, tapi di dalam otak kalian”. Memang benar, intinya mampukah kita meningkatkan produksi minyak untuk menambah pos pendapatan di APBN?
Belum lagi dengan pertambangan, Freeport, Newmount, dll. Saya kira jika kita berani untuk membenahi kebijakan pertambangan kita tentu pos pendapatan di APBN bakal naik dan lebih dari cukup untuk menutup defisit anggaran di APBN.
Lantas masihkah pantas BBM dinaikan?
2. Dinaikan dengan syarat
Ini pilihan pahit dan terakhir, namun menurut saya pribadi berdasar alasan-alasan yang dikemukakan pemerintah terkait alasan kenaikan BBM yaitu :
- Defisit Anggaran di APBN
- Pengguna BBM Mayoritas kalangan menengah ke-atas
- Subsidi BBM lebih baik dimasukkan ke pos anggaran lain seperti pendidikan, kesehatam, dll
Maka seharusnya subsidi BBM dicabut hanya untuk kalangan menengah atas saja. Caranya? Jika yang dianggap kalangan menengah ke atas adalah mereka yang memiliki mobil pribadi maka cabutlah subsidi BBM bagi mereka. Biarkan transportasi umum dan motor tetap mendapatkan BBM bersubsidi Rp 4.500. Bagaimana jika pengendara motor juga ada yang golongan menengah ke atas? Batasi dengan pajak dan aturan lainnya. Itu masalah teknis. Inti kebijakannya adalah “CABUT SUBSIDI BAGI GOLONGAN MENENGAH KE ATAS SAJA”. Jangan dipukul rata semua subsidi dicabut termasuk ke golongan rakyat menengah ke bawah. Saya kira ini win-win solution. Sayangnya saya hanyalah rakyat biasa bukan bagian dari pengambil kebijakan.
3. Dinaikan Sesuka Hati Sama Pemerintah
Kalau ini yang terjadi, jangan bersedih hati. Saya tahu orang Indonesia itu orang yang kesehariannya menderita, ditambah penderitaan kenaikan BBM juga nggak masalah. Itu masalah kecil, cuman BBM saja koq repot 350 tahun dibawah penderitaan bangsa asing saja masih sehat-sehat seperti gini, apalagi masalah kecil naiknya BBM saja.
Ini tandanya Allah itu bener-bener menguji Rakyat Indonesia. Orang Indonesia ini kok hebat-hebat, diuji bencana bertubi-tubi tidak mempan, diuji hukum yang semrawut tidak mempan, apalagi sekedar diuji kenaikan BBM. Malaikat pun bertanya-tanya, Emangnya setinggi apa sih tingkat kemampuan orang Indonesia ini menghadapi ujian?
Sudah jelas firman Allah bahwa Ujian yang diberikan kepada makhluk Allah itu tidak akan meleihi batas kemampuannya. Jadi tenang saja, kenaikan BBM ini saya yakin masih berada di zona kemampuan Rakyat Indonesia dalam menghadapinya.
Mau sampai Indonesia hancur berkeping-keping juga gak masalah, lha sekarang saja nggak ada bedanya ada negara Indonesia apa tidak. Hukum tetap berpihak kepada yang punya duit. -SufiHamdanM-
Referensi :
http://kwikkiangie.com/v1/2012/03/kontroversi-kenaikan-harga-bbm/
http://www.sunarsip.com/index.php?option=com_content&view=article&id=151%3Akontroversi-harga-bbm&catid=39%3Afiskal-dan-apbn&Itemid=131
Dan berbagai informasi di media-media lainnya yang telah manunggal dengan jalan pikiran saya.